Tuesday, September 30, 2014

Sampai saatnya aku menemukan nama lain. Sampai akhirnya aku bisa melenyapkan--paling tidak namamu. Kamu akan tetap berada di sini. Di dua tempat yang istimewa; hati dan pikiranku.

Berbeda (lagi)

Inilah kita, yang sepakat kalau kita sudah di pertemukan oleh 'Tuhan' dan yakin akan baik-baik saja. Kita yang sering menertawakan orang-orang yang bernasib sama, namun tidak mau saling mempertahankan. Kita juga yang 'masa bodo' dengan apa kata orang dengan hubungan ini.

Aku masih ingat di hari itu. Kita duduk di warung kecil yang berada di samping greja. Kita melihat seorang wanita yang keluar dari dalam tempat beribadah umat nasrani itu, yang tak berapa lama kemudian keluar juga seorang laki-laki dari dalam masjid yang berada tepat di hadapan greja.

Mata kedua sejoli itu merah, pipinya basah karena air mata. Seperti tau kelanjutannya, Dika menoleh kearahku dan berbisik, "pasti mau putus haha, atau malah udah putus."

Sama seperti Dika, aku juga sempat berpikiran seperti itu. Sudah biasa, terlalu biasa.

Kita melihat sang laki-laki memeluk wanitanya. Terlihat begitu erat di iringi dengan derai air mata. Lalu mereka meninggalkan tempat itu dengan jalan yang berbeda--si perempuan masuk ke dalam mobil berwarna merah yang terparkir di depan greja dan si laki-laki kembali ke masjid.

Aku dan Dika pun tertawa. Tidak ada yang lucu? Aku tau. Tapi rasanya lucu saja, berpisah hanya karena agama yang berbeda. Sebegitu mudahkah? Sebegitu sulitkan mempertahankan semuanya? Toh, mereka juga sama-sama tau, kalau 'Tuhan' yang sudah mempertemukan mereka.

Tapi... Itu dulu.
Kini Aku dan Dika justru menangis. Mematung di hadapan orang tuaku yang membentak dengan segala hal yang bersinggungan dengan 'Tuhan'.

Kalau sudah begini, siapa yang salah? 'Tuhan'? Ini terlalu bodoh jika kita harus menyalahkan sang maha pemberi rasa. Lalu siapa yang salah?

Lalu aku menatap tidak percaya pada Dika yang mengatakan kalau ia menyerah. Sekarang apa yang harus kulakukan terlebih dahulu? Marah dulu, atau tertawa dulu?

Kita yang sudah yakin tidak akan bernasip sama dengan mereka-mereka yang menyerah, tapi justru, kini kitalah yang menyerah. Aku ingin tertawa, tapi justru air mataku mendesak keluar.

Sudah? Begini saja?
Setelah 6 tahun bertahan, setelah 6 tahun melalui segala perbedaan bersama-sama. Dan sekarang? Sudah begini saja? Hanya seperti ini?

Aku mengantar Dika ke depan rumah. Wajahnya sama kacaunya denganku. Aku bisu, Dika lebih bisu.

Setelah berpelukan, pelukan perpisahan, pelukan yang kemungkinan adalah pelukan terakhir kita. Dika pergi, menaiki motornya, menyisakan asap yang justru membuat hatiku terasa perih.

Dan dia pergi.

Sekarang siapa yang tertawa?

Sunday, September 28, 2014

Kalau kau baik-baik saja

Hai!
Ini seperti sudah jutaan hai ku ucapkan dan tak pernah terbalaskan.
Rindu!
Ini juga sudah jutaan rindu yang ku ucapkan dan tak pernah terbalaskan.
Cinta!
Sudahlah, kata "hai" dan "rindu" saja tak pernah terbalaskan. Apa lagi cinta?

Ahh! Sudah berapa lama kita tidak bertemu?
Sudah berapa lama kita tidak bertatap muka?
Sudah berapa lama kita tidak saling sapa?
Sudah berapa lama aku memendam semuanya?

Jika kau baik-baik saja, aku ingin bertemu. Aku ingin menceritakan semuanya tentangku, dunia baruku dan juga mendengar punyamu.

Jika kau baik-baik saja, aku ingin kembali berteman. Aku tidak akan mengharapkan lebih, karena kutau itu mustahil.

Jika kau baik-baik saja, jika kau benar-benar baik-baik saja, berarti kekasih mu telah melakukannya dengan baik; menjagamu.

Wednesday, September 17, 2014

hai dan bye

hai
hallo
hai yang disana
hai yang disana, yang beberapa hari yang lalu menyuguhiku senyuman manis.
hai yang di sana, yang beberapa hari yang lalu memandangi mataku tanpa arti.
hai yang di sana, yang kemarin merayuku dengan rayuan palsu.
hai yang di sana, yang baru saja memanggil namaku tanpa gairah.
hai yang di sana, yang baru saja berbicara denganku.
hai yang di sana, yang baru saja memasuki hatiku tanpa permisi.
hai yang di sana, yang ternyata menyukai temanku.
hai yang di sana, yang mungkin sedang bahagia bersama temanku.
hai yang di sana, yang sudah mematahkam hatiku.
hai yang disana
hai kakak
hai hai hai hai
hai hai hai
hai hai
hai dan selamat tinggal
selamat tinggal
selamat tinggal
selamat tinggal
bye

Sunday, September 7, 2014

Menunggu

aku memperhatikan sepasang sepatu converse--sudah buluk--milikku. hal ini bukan karena aku memang ingin memandangi sepatuku, tetapi karena aku menghindarimu. aku mencegah kalau perlu mengutuk mataku agar tidak melihat manik matamu. lagi pula mengapa 'dia'--kamu-- bisa ada di sini? dalam tundukan kepalaku, akhirnya aku melihat sepasang sepatu yang mendekat, benar-benar dekat. aku bisa memperkirakan, jika aku menengadah pasti wajahku dan seseorang ini akan berada sangat dekat. oleh karenanya aku mempertahankan posisiku.

ramai orang-orang berjalan di samping kanan dan kiriku, aku tak tau apa mereka memandangku saat ini. aku tidak tau dan tak mau tau. hmm.. aku menghembuskan napas, leherku ini rasanya pegal sekali, tetapi sepasang sepatu berwarna merah itu tak juga sirnah. tak juga bersuara. apa dia menungguku mendongak? atau memang sengaja menghalangi jalanku?

"hei kau, bisa ke sini sebentar!" teriak seseoranh, entah siapa dari arah belakangku.

tiba-tiba sepasang sepatu merah itu bergerak. ah akhirnya...

"tunggu aku." suara sialan itu tiba-tiba terdengar di telinga kananku, berbisik dengan senyuman. rasanya aku ingin pingsan saja.

'dia' si pemakai sepatu merah menyuruhku menunggunya, setelahh lebih dari 3 tahun aku sudah melakukannya. menunggunya tanpa kabar, menunggunya tanpa berpaling, menunggunya dengan rasa yang selalu sama. sekarang setelah segala penantianku, kau menyuruhku menanti lagi. seenaknya saja!

tapi.....

tubuhku tetap mematung, tubuhku menolak untuk di gerakan. hanya satu yang kurasa bergerak, yaitu air mataku.