Thursday, September 17, 2015

Siklus

Ketika kau ingin berhenti tapi tidak bisa, apa yang akan kau lakukan? Aku bosan. Tidak ingin melulu soal cinta, soal sakit. Aku ingin sesuatu yang baru. Rasanya tidak ingin memikirkan dimana aku akan berpijak, tidak ingin memikirkan kemarin. Karena kemarin sudah menjadi sejarah, sejarah yang melulu ku ungkit. Hingga akhirnya aku capek sendiri. Terlalu terfokus pada masa lalu, akhirnya hari ini mengungkit sakit lagi. Lalu aku akan merangkai kata-kata pedih untukku sendiri(lagi), lalu aku akan berfikir bahwa itu bodoh, dan menyesal, kemudian kembali merasa lelah. Siklus itu terulang setiap harinya. Aku hanya lelah.

Kemarin memang istimewa. Mungkin memang sekarang aku tak mendapatkan apa yang kupunya kemarin. Ah sudahlah, kalau begini nanti yang ku bicarakan tentang sakit. Dan siklus itu kembali terulang. Lalu apa yang harus aku lakukan. Apakah kehidupanku hanya terpentok soal cinta? Lalu sakit hati? Lalu siklus itu terulang? Lelah.. Lelah. Mencari jalan lain yang bisa kupijaki, yang barang kali tidak berlubang ataupun buntu—kuharap. Tapi selagi mencari, yang bisa kulewati tetap jalan ini. Likunya bagai mati, ujungnya bagai duri. Dan sakit itu berulang lagi, siklus itu—ah sudahlah! Jangan bicarakan siklus itu lagi.

Kalau aku burung, sudah pasti aku akan terbang setinggi langit dan mencari tempat tenang sendiri. Menyusun siklus baru, jalan baru, dan pegangan yang baru. Tapi bagaimana bisa terbang? Aku bukan burung. Jalanpun masih terseok-seok. Berlari malah tersandung oleh masa lalu. Lalu ketika aku jatuh, tak ada tangan yang bisa kuraih. Dia mungkin malah menertawakanku. Dia yang ku maksud adalah orang yang membuat siklusku terus berulang. Dia penyebab atas terjebaknya aku dalam ruang kosong penuh sesak. Ya, sekedar mengingatkan diriku saja, dulu dia yang menyusun pelangi di hariku. Merangkai rembulan di malamku. Tapi itu dulu. Nah kan! Lagi-lagi aku membahas kemarin. Mau sampai kapan aku tersandung dan jatuh? Nyatanya waktu ada, bukan untuk di ulang. Tapi bagaimana bisa sakit ini berulang terus? Lagi dan lagi.. Tanpa ampun.

Kupikir yang menjadi persoalan adalah siklus itu. Tapi salah. Persoalannya adalah diriku. Karena aku yang berlari hingga tersandung. Kaki-kaki ini tak mungkin bergerak sendiri tanpa empunya kan? Jadi yang salah adalah aku? Lalu bagaimana caranya aku menghentikannya? Bunuh diri? Halah bodoh! Sudah sakit, masih ingin merasakan sakit yang lain. Katanya ingin berhenti melulu soal sakit? Menyalahkan diri sendiri toh tak ada gunanya. Meratapi nasib juga sia-sia. Apalagi mengulang siklus sialan itu. Lalu bagaimana caranya agar semua berubah? Tak melulu soal cinta, tak melulu soal sakit, tak melulu malu pada senja. Bagaimana?

Friday, September 11, 2015

Aku Ingin

Hujatlah aku dengan cinta tanpa ampun
Bencilah aku sampai yang tersisa hanya rindu
Hinalah aku sampai yang tersisa hanya rasa
Sampai akhirnya tak ada dendam yang kau rasa, melainkan cinta

Aku ingin di cintai tanpa benci
Aku ingin di cintai tanpa dendam
Aku ingin di cintai dengan hati