Monday, February 5, 2018

My sweet Peanut

Hai Peanut..

Belakangan aku hanya berpikir, rasa-rasanya tidak adil kalau aku tak menulis tentangmu.
Walau kebanyakan tulisanku tentang sakit, oh mungkin itu alasannya kenapa aku belum menulis tentangmu di sini, cause im happy with you.
Lalu apa yang harus kutulis disini? haha sesungguhnya aku tak pandai menjabar bahagia.
Lantas biarkan aku kali ini mengucap maaf.
Maaf karena aku yang belum dewasa, menjabar cinta saja masih terseok.
Kamu tau kucingku bukan? Aku menyayanginya sampai-sampai saat ia pergi untuk selamanya, aku menangis seharian penuh.
Nah untuk kamu, porsinya lebih besar dari itu.
Maaf juga aku tak pandai menjabar rindu, aku selalu mengganggumu ketika kamu ingin pergi kerja.
itu mungkin bentuk lain dari rindu. Bodoh ya, aku sendiri juga tidak mengerti.
Maaf juga dengan segala kekanakanku.
Mungkin kamu terlalu ahli untuk membuatku merasa aman, sehingga aku tak peduli lagi bagaimana caranya untuk kuat.
Maaf juga aku tak pandai membuat suasana menjadi nyaman.
Aku tak ahli mengendalikan perasaanku sendiri. Kamu tau persis itu.
Ah, lama-lama ini terdengar klise.
itulah mengapa aku tak suka menjabarkan rasa haha.
Selain kata maaf, mungkin yang harus aku katakan adalah terimaksih.
Terimakasih sudah berjuang untuk hidupmu sendiri.
Kenapa?
Karena aku suka mengetahui fakta bahwa kita masih menghirup udara yang sama. Aku bahagia mengetahui kau baik-baik saja.
Hiduplah, untuk dirimu sendiri.
Karena hidupmu kelak akan menjadi bagian dari milikku.
bahagiamu, akan jadi salah satu alasan yang kuat mengapa aku tersenyum.
Oiya, aku suka senja. Aku juga suka gemerlap lampu dan bintang di malam hari.
Aku masih menunggu hingga pada akhirnya kita berada di lingkaran yang sama.
Tanpa jarak.
Tanpa koma.
dan semoga tanpa tapi.

Peanut, Aku mencintaimu lebih besar dari mencintai mie rebus hangat di musim hujan.

Tuesday, April 26, 2016

Aku sungguh tak ingin mengenangmu seperti ini

Kau yang telah memporak-porandakan hati tanpa bertanggung jawab
Aku di sini bagai mati tak bernyawa
Adakah sedikit rasa kau bersalah?
Hingga ada maaf yang akhirnya terucap

Kau hati yang selalu kudamba
Tidak bisakah sedikit sopan saat menghilang?
Dibanding Melambai tangan atau berkata selamat tinggal
Kau malah lari meninggalkan derita

Tidakkah aku selalu merengkuhmu kuat
Menyayangmu bagai sang hawa kepada adamnya
Tiadakah hati kau tinggal sedikit untukku
Agar matiku tak lagi sia-sia

Tak lagi kuingat dirimu yang rupawan
Karena hanya sakit yang kembali menggema
Busuk bagai bangkai kuda
Dan kuhirup sendiri sampai tak bersisa

Dan lagi-lagi aku kembali mati, karenamu baginda.

Sunday, April 3, 2016

It was the best relationship, until going nowhere

It was the best relationship, until it burn into ashes

It was the best relationship, until it breaks into pieces 

It was the best relationship, until you gone

It was the best relationship, until you lie

Tuesday, March 29, 2016

Waktu

Tak bisakah kau menemaniku berburu waktu? Agar sesulit apapun itu, kita tetap bisa bersama. Lalu saat waktu berhasil kita dapatkan, mau kah kau menemaniku meramunya? Agar aku bisa menghentikannya saat bersamamu. Dan jika waktu telah berhenti, maukah kau tetap bersamaku selamanya? Agar matiku adalah matimu juga. Kalaupun kau tak ingin melakukan semuanya, bersediakah kau memberikan waktu, walau hanya beberapa detik untuk tersenyum padaku? Karena senyummu mematikan waktu di hidupku seketika. Dan selamanya kau akan terasa hidup bersamaku.

Friday, March 25, 2016

Beginilah yang terasa

Hmm.. Anggap saja aku bosan bermain-main dengan cinta. Mencicipi berbagai hati lalu di buatnya sakit berkali-kali. Anggap saja aku sedang menjalin kesetiaan dengan sang waktu, agar nantinya ia mempertemukanku dengan orang yang tepat. Anggap saja kehadiramu tidak mengusikku, jadi aku bisa mengenalmu hanya sebagai sahabat. Anggap saja tak ada satu katapun yang keluar dari mulutmu, yang membuatku terluka, jadi aku bisa berpura-pura baik-baik saja.

Mereka bilang, "semua wanita butuh kepastian." Aku memilih tidak memihak, bahkan menolak. Aku memilih bersandar pada apa yang ku percaya. Bahwa hatimu tak pernah untukku. Itu untuknya, dia, dan mereka. Bukan untukku. Bukan aku pesimis, hanya mencoba tau diri saja. Karena mendengar nama lain kau sebut, membuatku sadar akan posisiku yang tak pernah menjadi lebih. Kita teman. Kita sahabat. Tidak lebih.

Dan aku cukup tau diri untuk mengerti. Sudah cukuplah aku mencicipi asam garam cinta. Aku sudah pernah berjuang untuk seseorang yang tak pernah menghargaiku. Dan jika disuruh untuk berjuang lagi, aku memilih mundur. Karena yang bersungguh-sungguh tak akan membiarkanku berjuang, apalagi seorang diri. Jadi aku menunggu itu. Menunggu usahamu untuk meyakinkanku, mengubah presepsiku tentang harapan dan perjuangan. Menunggu mu untuk membuatku menulis buku baru itu bersamamu.

'Tidakkah seperti ini menyiksa?' Tanya mereka.

Dan aku, hanya tersenyum.

Saturday, March 5, 2016

Rindu

Hai kepingan rindu? Masih setiakah menunggu?
Aku saja sudah bosan berlucut debu
Tak risaukah menyiasati waktu
Agar yang di tunggu akan segera kembali padamu
Nyatanya kau mati dalam sendu

Thursday, February 11, 2016

Hujan bulan februari

Hujan di bulan februari, mungkin telah mengguyur habis semua kenangan yang pernah ada. Membawanya pergi ke persimpangan memori di otakku. Kemudian membiarkan posisinya semula kosong untuk nantinya ku isi lagi dengan kenangan baru.

Lama.. Rasa-rasanya ini sudah terlalu lama aku meringkuk di dalam bayang-bayangnya. Berusaha menghangat dan menetap lebih lama agar hujan tak membasahi tubuhku. Namun ternyata yang kulakukan ini salah, salah besar.

Selamanya aku akan takut dingin jika tak bersentuhan dengannya. Selamanya aku akan mengidamkam hangat jika terus berada di sana. Hinga lama-lama aku tak tau apa itu hangat, karena nyatanya dingin lebih mendominasi. Aku tak ingin jadi pengecut. Aku ingin hujan menghujamku dengan liar. Aku ingin air-air itu menyeret habis semua kesedihan. Hingga yang tersisa hanya kebahagiaan.

Dan aku ingin membuat kenangan baru bersama hujan. Biarlah dingin ini menusuk tulangku. Toh, lama-lama aku akan terbiasa. Dan kau juga harus belajar melangkah. Hidupmu bukan melulu tentangku, begitu juga dengan hidupku. Kita sudah membuat kisah indah di bulan oktober lalu, kini buku itu sudah penuh dengan tawa, tangis, rindu dan rasa. Bagaimana jika kita tutup buku itu, dan membuka lembaran baru?

Lembaran hidupmu tanpa aku, dan lembaran hidupku tanpa kamu.

Bersama kita telah menciptakan buku yang indah. Mungkin jika terpisah, ceritanya akan lebih menarik. Jangan takut untuk menulis sendiri, aku tak akan meninggalkanmu begitu saja. Aku akan membantumu merangkai kata, hingga akhirnya kau bisa melakukannya sendiri.

Berjanjilah untuk membuat buku barumu itu lebih indah dari yang sebelumnya, walau tanpa aku. Aku pasti bersedia untuk membaca karyamu. Dan berbahagialah dengan mentari hangat itu, maka aku berjanji akan tersenyum bersama hujan bulan februari.